Bunga Cantik di Tengah Padang Rumput
Siapa di antara anda
yang belum pernah mendengar pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak cinta?”.
Tentu semuanya sudah pernah mendengarnya, baik pada waktu pelajaran peribahasa
di Mata Ajaran Bahasa Indonesia atau dalam pergaulan sehari-hari karena pepatah
ini kerap kali digunakan orang. Sekarang, malah ada sedikit perubahan dan
penambahan kata dalam pepatah tersebut. Yaitu menjadi "Tak Kenal Maka
TaÂ’aruf."
Berbedakah keduanya ?
Dari kedua kalimat tersebut,
sebenarnya ada perbedaan arti meski hanya sedikit dan tipis sekali. Taruh sebuah
permisalan. Jika anda bertemu dengan seseorang yang tidak anda kenal sama
sekali, tentu anda ingin mengenalnya lebih jauh dan keinginan untuk mengenalnya
itu begitu kuat muncul dalam diri anda. Anda ingin tahu siapa namanya, dimana
dia tinggal, apa kegiatannya dan segala sesuatu yang menyelingkupi kehidupan
teman baru anda itu. Dalam kondisi seperti ini maka pepatah ‘yang baru’ akan
diterapkan, “Tak Kenal Maka TaÂ’aruf.”
Tahukah anda bahwa sebenarnya
dalam proses perkenalan itu telah terjadi sebuah proses lain yang juga
berkembang dalam diri kita. Yaitu sebuah proses pemilahan kelompok teman. Pada
waktu kita mulai melancarkan rangkaian pertanyaan padanya tanpa kita sadari yang
kita cari adalah kesamaan dan kesesuaian dalam beberapa hal yang sekiranya akan
menjadi perekat perkenalan tersebut.
“Eh.. suka baca buku nggak ?” atau
“Oh, kamu tinggal disana yah ? Hmm, aku punya teman di sana, kenal sama A nggak
yah, dia tinggal di blok Z.”
Proses perekat hubungan inilah pada banyak
orang diartikan sebagai sebuah proses “Tak Kenal maka Tak Cinta.”. Tidak ada
yang menyadari bahwa sebenarnya tidak melulu arti pemahaman sebuah perkenalan
akan berakhir dengan sesuatu yang manis seperti yang diharapkan dalam pepatah
tersebut. Ada kalanya, setelah sebuah perkenalan terjadi, lalu pengenalan diri
masing-masing berlanjut pada hal yang lebih jauh, sebuah hubungan ‘perkenalan’
bisa jadi ikut berakhir pula seiring dengan perpisahan yang terjadi dalam sebuah
pertemuan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sudah menjadi sebuah kebutuhan
manusia untuk dapat memperoleh kepercayaan dan rasa aman dalam dirinya. Inilah
yang terjadi dalam proses pemilahan kelompok teman yang baru kita kenal. Yup.
Ada sebuah proses lain dalam sebuah perkenalan yang tanpa kita sadari telah
menggiring kita untuk melakukan sebuah pemilahan yang sangat bersifat subjektif
karena kebutuhan kita akan rasa percaya dan dan rasa aman tersebut.
Tanpa
kita sadari kita mulai melakukan pemilahan dan pencarian data apakah dia cukup
bermanfaat sebagai seorang teman ataukah tidak, ada sebuah istilah yang mungkin
lebih pas tapi konotasinya pada beberapa orang mungkin menyakitkan telinga yang
sensitif, yaitu “seberapa pantas orang yang baru anda kenal itu bisa menjadi
teman anda”.
“Seberapa pantas…”, terdengar sangat arogan dan tidak
bersahabat yah? Tapi meski terdengar sangat tidak sopan, memang itulah yang
sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses perkenalan. Dalam alam pikiran
sederhana, bagaimana mungkin kita akan bisa meletakkan rasa percaya kita pada
seseorang yang tidak kita kenal? Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin
kita akan merasa aman pada seseorang yang tidak kita kenal? Sekali lagi, dalam
alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan memberikan rasa sayang, rasa
cinta kita pada seseorang yang tidak kita kenal. Bukankah “Tak kenal maka Tak
Cinta ?”
Dan disinilah letak ketertakjubanku pada peristiwa yang aku
alami yang justru membuatku berpikir, tidak selamanya mungkin sebuah pertemuan
dengan seseorang yang kita belum kita kenal akan melahirkan keinginan untuk
ta’aruf, dan rasa sayang bisa saja terjadi tanpa didahului sebuah perkenalan
yang memuat sebuah isian biodata yang harus diisi dalam blangko pencernaan
pikiran biasa (tanya nama, alamat dan sebagainya).
Peristiwa yang
pertama adalah sebuah peristiwa di sebuah bis kota yang melaju lamban di jalan
raya yang macet di pinggir kota Jakarta yang memang sudah sangat padat setiap
jalur badan jalannya dengan kendaraan yang berseliweran setiap harinya.
Hari cukup panas ketika itu dan bau keringat penumpang mulai menyebar
menimbulkan sebuah perasaan tidak nyaman. Di sebelahku duduk seorang gadis
berjilbab yang bertubuh agak besar. Dia sedang asyik membaca sebuah buku.
Kulirik buku di tangannya dan mengenalinya sebagai salah satu buku yang sering
aku lihat di pajang di toko buku.
Secara iseng (sungguh ini pertanyaan
iseng karena aku mulai jenuh dengan masa menunggu kemacetan lalu lintas) aku
mulai bertanya tentang apa judul buku yang dia baca. Gadis itu memperlihatkan
judulnya padaku. Lalu aku mulai melontarkan pertanyaan apa isi buku tersebut
dengan gaya sok akrab dan gadis itu melayani pertanyaanku dengan sabar dan penuh
senyum.
Hmm, tampaknya dia mulai mengerti akan ketidak nyamanan yang aku
alami dalam bis kota yang padat itu dan keterasingan untuk segera terbebas dari
tempat dudukku yang keras sehingga dengan penuh keikhlasan gadis itu memberikan
waktunya untuk menjawab pertanyaanku. Tanpa kami sadari kami terlibat sebuah
diskusi menarik dan asyik.
Aku memang senang membaca dan lebih senang
lagi jika diajak seseorang untuk bertukar pikiran tentang sebuah topik dari
sebuah materi yang pernah aku baca atau aku ketahui. Hingga tak terasa tujuan
akhir telah tiba. Gadis itu harus turun lebih dahulu dariku dan apa yang dia
lakukan kemudian membuatku cukup ternganga dan sangat berkesan pada pertemuan
dengannya.
“Aku ingin memberikan buku ini padamu.”
Subhanallah.
Aku tahu dalam pembicaraan kami tadi bahwa buku itu belum dua jam yang lalu
dibelinya di toko buku. Bahkan sampai halaman pertengahan pun gadis itu belum
usai membacanya. Bagaimana mungkin dia akan memberikannya begitu saja padaku
padahal tadi baru saja dia katakan bahwa dia menginginkan buku itu sejak lama
sehingga dia menabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk dapat membeli buku
itu.
“Tidak. Aku tidak menginginkannya. Buku itu milikmu, kamu belum
selesai membacanya, bacalah dulu sampai selesai.” Aku menolaknya dengan keras.
“Tapi aku ingin memberikan buku ini padamu.” Gadis itu tetap
bersikeras.
“Tidak.“
“Terimalah. Anggap ini hadiahku untukmu, kamu
memang pantas menerimanya. Ayo, terimalah buku ini sebagai kenang-kenangan
dariku karena aku tidak tahu kapan lagi kita akan bertemu di waktu yang akan
datang.”
Duhai. Kalimatnya menimbulkan rasa haru yang mendalam, aku
termangu sejenak tapi segera tersadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk jadi
melankolis. “Tidak. Aku tidak bisa menerimanya.”
“Terimalah hadiahku ini.
Kamu belum membacanya kan, bacalah, aku sudah membacanya sebagian dan isinya
sangat menarik, sedangkan kamu belum membacanya sama sekali, aku ingin kamu
membacanya juga dan bacalah sampai akhir.”
“Kenapa?“ Aku bertanya dengan
bodoh. Sungguh aku tidak tahu kenapa gadis itu bersikeras memberikan buku
barunya padaku.
“Kenapa kamu ingin memberikan buku barumu padaku, padahal
kamu menginginkan buku ini sejak lama. Kenapa?”
“Karena aku sayang
padamu. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu dan saat ini yang aku miliki
adalah buku baruku ini. Percayalah padaku bahwa aku menyayangi kamu karena Allah
semata sehingga jika saat ini kamu menginginkan yang lain dariku, seperti
mataku, rambutku, tanganku, semua akan kuberikan padamu detik ini juga karena
aku sayang padamu karena Allah semata.”
Aku makin ternganga. Belum ada
satu jam kami berbincang dan diskusi tapi rasa sayang yang dia miliki padaku
sudah demikian mendalamnya sementara namanya saja aku sama sekali tidak tahu
karena dia memang hanya kujadikan seorang teman untuk membunuh waktu jenuhku di
dalam kendaraan tersebut.
Ada sebuah rasa haru yang kian membuncah dalam
dadaku mendengar untaian kalimat terakhirnya sekaligus melahirkan sebuah
dorongan untuk menerbitkan mutiara bening dari sudut kelopak mataku. Aku tidak
sanggup berkata apa-apa karena terbalut haru dan buku itu sudah berpindah
tangan, diletakkan gadis itu di dalam genggamanku sementara dia bersiap untuk
turun dari kendaraan. Pada perhentian selanjutnya gadis itu mulai berdiri
menepi.
“Mbak..makasih yah. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya
bahkan kita belum sempat berkenalan. Mbak juga tidak tahu siapa aku.” Gadis itu
hanya tersenyum ramah mendengar kalimatku yang mungkin terdengar sangat
bodoh.
“Itu tidak penting. Yang aku tahu kamu adalah saudariku dalam
islam. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan dengan masing-masing dalam
kondisi yang lebih baik.”
Kemudian bis berhenti dan setelah mengucapkan
salam, gadis berjilbab itu melesat turun sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku membalas salamnya sambil tersenyum dan setelah dia menghilang dari
pandanganku aku mulai membaca judul bukunya.
“Menjadi Muslimah yang
kaffah.”
Hmm, mungkin dia memberikan buku itu karena aku belum
berjilbab. Yup. Kejadiannya memang sudah lama sekali, sewaktu aku masih kuliah
dulu dan masih banyak mempertimbangkan banyak hal sehingga belum timbul
keinginan kuat untuk menutupi auratku secara lengkap dengan sebuah hijab yang
semestinya.
Aku sangat terkesan dengan peristiwa itu karena di kampus,
teman-teman akhwat lain lebih banyak yang memilih untuk tidak menaruh
kepercayaan dan kasih sayang sebesar seperti yang diberikan oleh gadis tadi. Di
kampus mereka memberlakukan sebuah jarak dalam membina hubungan denganku yang
notabene sebenarnya memiliki agama yang sama dengan mereka hanya saja aku belum
berjilbab. Image muslimah sebagai sebuah kelompok eksklusif dalam kepalaku telah
hancur lebur dalam hitungan detik dengan kehadiran gadis berjilbab itu.
Sekarang aku alhamdulillah sudah mengenakan jilbab, sudah berkeluarga
dan sudah dikaruniai dua orang jundi yang manis. Kesibukan sehari-hari dalam
urusan pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga hampir tidak menyisakan waktu luang
bagiku. Lebih dari itu, kadang timbul sebuah proses pemilihan teman dalam
bergaul yang terus terjadi tanpa aku sadari.
Jika ibu-ibu lain di
sekitar rumahku sering berkumpul di depan pagar rumahnya maka bisa dikatakan aku
jarang sekali ikut berkumpul dengan mereka. Jika ada acara pertemuan antar
ibu-ibu di lingkungan rumahku, entah itu arisan rt, pengajian bulanan, pertemuan
bulanan antar warga, atau bahkan acara resmi seperti selamatan atau kenduri,
bisa dipastikan aku hanya hadir pada saat acara resmi itu berlangsung saja.
Setelah acara resmi selesai, ketika piring gelas mulai dikumpulkan di tengah
tikar, aku memilih untuk segera mengundurkan diri ketimbang ikut bergerombol
bersama ibu-ibu yang lain membuat pembicaraan dan acara baru di luar acara
inti.
Hmm, aku tetap berusaha untuk bergaul akrab, ikut tersenyum dan
bersenda gurau atau berdiskusi dengan teman-teman ibu-ibu rumah tangga yang lain
dalam konteks acara yang aku ikuti masih berlangsung. Setelah itu, setelah acara
itu selesai, aku lebih memilih untuk mengundurkan diri lebih karena alasan
menghindari kemudharatan.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi apa yang
dilakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga jika mereka berkumpul dan mulai saling
bercengkerama di luar sebuah acara yang terkoordinir. Mereka akan membicarakan
hal-hal yang tidak bermanfaat dan inilah yang aku hindari. Terlibat dalam
pergaulan seperti itu bagiku seperti memakan sebuah buah simalakama. Dimakan
dalam arti kita melibatkan diri; kita akan terpengaruh dengan atmosfere mereka
karena mau tidak mau kita akan mengeluarkan suara dan terlibat dalam pembicaraan
mereka yang kelak kita akan menyesalinya sendiri. Pilihan kedua adalah tidak
memakannya, yaitu kita tetap diam jadi pendengar dan itu artinya kita membiarkan
isi pembicaraan mereka itu akan masuk ke telinga kita tanpa sebuah perlawanan,
mengendap di dalam hati dan secara tidak sadar akan menimbulkan sebuah diskusi
dengan diri sendiri yang lebih banyak melahirkan sebuah su'udzon dan ketidak
nyamanan.
Ada sebuah pembenaran yang aku pegang dalam keputusanku untuk
melakukan apa yang menurutku saat ini baik bagiku, yaitu mencegah sebuah
kemudharatan itu lebih utama ketimbang menyebarkan manfaat. Hmm, benarkah
pembenaran ini? WallahuÂ’alam.
Nah, dalam kesibukan memilih teman dalam
pergaulan sehari-hari itulah terjadi peristiwa kedua yang juga sangat menyentuh
hati dan memberi kesan yang sangat mendalam bagiku. Kejadiannya terselip dalam
peristiwa rutinitas sehari-hari dan dalam waktu yang tidak terduga. Yaitu waktu
shubuh.
Ada sebuah kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan menjelang
waktu shubuh. Yaitu kesempatan untuk berjalan menikmati suasana damai menjelang
shubuh berdua saja dengan suamiku. Masjid tujuan kami letaknya lumayan jauh dari
rumah dan waktu yang terhampar di selang perjalanan menuju masjid itu biasanya
diisi dengan percakapan ringan yang lepas dari rasa kesal, jenuh dan bosan akan
rutinitas pekerjaan dan kegiatan.
Yang ada hanyalah senda gurau atau
curhat yang diiringi nasehat ringan diseling canda. Biasanya, setelah melakukan
shalat shubuh berjamaah di masjid kami segera bergegas menuju rumah karena tugas
rutinitas sehari-hari telah menunggu. Itu sebabnya waktu berangkat menuju masjid
itu menjadi lebih istimewa (menjadi makin istimewa karena kadang kesehatanku
yang sering terganggu dan kemalasan akibat kelelahan akan tugas sehari-hari
membuat acara manis ini menjadi kian sulit dilakukan).
Hari itu, seperti
biasa aku segera melipat perlengkapan shalatku dan mulai bersiap-siap untuk
pulang ketika ada seseorang yang menyapaku. Seorang wanita tua yang tampak
tersenyum dan memberiku salam. Aku membalas salamnya sambil ikut
tersenyum.
“Apa kabar nak? kenapa sudah lama sekali tidak kelihatan?”
sambil beringsut, aku mendekati ibu tua itu dan duduk di hadapannya sambil
menyalaminya dengan sopan.
“Sakit bu. Saya sudah beberapa hari ini sakit
jadi tidak bisa pergi kemana-mana termasuk ke masjid ini. Tapi alhamdulillah
sekarang sudah sehat kembali. Ibu sendiri gimana
kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat nak.” Ibu itu masih memandangiku sambil
tersenyum lembut sekali. Tiba-tiba dia meraih kedua pergelangan tanganku dan
memegangnya dengan sangat erat.
“Ibu rindu sekali melihat kedatanganmu..
sudah hampir setengah bulan tidak melihat kamu hadir di sini.” Aku hanya
tersenyum tapi dalam hati tak urung heran. Setengah bulan, artinya ibu itu
menghitungnya. Artinya lagi, ibu ini tentu jamaah tetap di kala waktu shubuh di
masjid ini…wah… bagaimana aku bisa tidak tahu akan kehadiran ibu ini setiap kali
aku shalat disini. Hmm, mungkin karena aku selalu tergesa untuk pulang karena
memikirkan pekerjaan rumah tangga yang terasa sudah antri untuk dikerjakan. Duh,
betapa tidak pedulinya aku pada lingkunganku selama ini. Kalimat ibu itu mulai
terasa seperti sindiran bagiku.
“Ibu selalu berdoa agar kamu sehat nak…
sungguh, ibu mencintai kamu karena Allah dan selalu berharap bisa bertemu kamu
di sini, di masjid ini meski ibu sendiri juga tidak yakin karena ibu sudah
sangat tua dan makin rapuh.”
Subhanallah….
Kali ini aku
sungguh-sungguh merasa terharu. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan apa
yang terjadi pada lingkungan sekitarku. Aku sibuk dengan urusan keseharianku
sendiri, aku sibuk dengan diriku sendiri sedangkan ibu tua di hadapanku, yang
mungkin hidupnya lebih susah, lebih kompleks permasalahannya, lebih rumit hal
tentang kesehariannya, tetap memiliki kemampuan untuk memperhatikan
lingkungannya.
Hmm.. tahukah anda. Kedua peristiwa berkesan di atas itu
sebenarnya sebuah nasehat yang sangat manis dari Allah untukku. Subhanallah.
Kadang, sebuah nasehat itu tidak melulu hanya berupa sebuah tausiyah panjang
lebar tentang hamparan hadits dan ayat.
Sebuah nasehat bisa juga berupa
perbuatan. Sama seperti perbuatan gadis berjilbab di bis kota di atas. Dengan
memperlihatkan keramahan dan kesantunan serta keikhlasannya (sampai sekarang aku
tidak pernah sekalipun lagi berjumpa dengannya, semoga Allah merahmatiNya
selalu, amin), aku jadi tergugah akan keindahan ukhuwah dalam islam dan
kemanisan budi pekerti muslimah sesungguhnya. Lebih dari itu, muncul semangat
untuk benar-benar mewujudkan jati diri sebagai “Muslimah yang kaffah”, seperti
nasehat yang diberikan dalam buku yang diberikannya secara cuma-cuma padaku.
Begitu juga dengan ibu tua di dalam masjid itu (hik..hik..aku tidak
pernah berjumpa lagi dengannya, dan aku sampai detik ini tidak tahu siapa
namanya, dimana dia tinggal dan informasi apapun tentang dia. Semoga beliau
tetap dalam lindungan Allah SWT). Dengan kelembutan seorang ibu yang bijak, dia
mengingatkan aku agar merindukan “masjid” selalu sesibuk apapun kegiatanku...
ibu itu juga mengingatkan aku bahwa penilaian akan lingkunganku selama ini
sebenarnya tidak selamanya benar. Bukankah di tengah hamparan rumput hijau di
tengah padangpun selalu terselip bunga berwarna cantik yang harum baunya meski
keberadaan bunga tersebut kecil mungil nyaris tak terlihat?
Kehadiran
mereka berdua adalah penyejuk dahaga di tengah perjalanan panjang dan
membosankan karena keterasingan yang monoton.
Kehadiran mereka adalah
pendorong semangat ketika ghirah mulai kendur karena rutinitas keseharian yang
mulai menegangkan urat syaraf. Hmm.. wallahuÂ’alam.
Aku jadi teringat
sebuah hadits yang mengatakan bahwa :
“Tidak sempurna iman seseorang di
antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.” (Dari kitab shahih Muslim, yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik).
Begitu besar rasa persaudaraan yang terkandung dalam hadits
tersebut hingga tidak ada pemilahan kelompok di dalamnya yang berdasarkan pada
beragam suku, ras, golongan, bangsa dan warna kulit. Semuanya adalah keluarga.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al Hujurat:10).
Mencintai disini adalah menginginkan segala kebaikan yang dia miliki
untuk turut pula dirasakan oleh saudaranya.
“Demi Dzat yang jiwaku ada
di TanganNya, tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai kebaikan dirinya sendiri.” (Dari riwayat
Nasa’i).
Kebaikan disini adalah kebaikan “menurut syariat” seperti ilmu
yang bermanfaat, amal yang shaleh, dan akibat yang positif. Tidak ada tempat di
sini untuk penilaian yang bersifat subjektif yang sering kita berlakukan jika
kita memilih teman tanpa kita sadari. Sama seperti nasehat halus yang diberikan
oleh gadis di bis kota itu padaku. Sementara teman-teman akhwat menolak
kehadiranku yang “berbeda” dengan mereka yang berjilbab lebar, maka gadis itu
dengan penuh keikhlasan mengajarkan aku arti ukhuwah sesungguhnya dan tanpa
sadar memberiku semangat untuk “mengenal islam (agama perdamaian) lebih jauh”.
Subhanallah.
Semoga kita semua bisa belajar untuk bisa pula menjadi suri
tauladan seperti kedua tokoh “nyata” yang aku temui di dalam hidupku itu.
Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Engkau yang menciptakan ku dan aku adalah hambaMu.
Aku terikat dalam
perjanjian dengan-Mu sekemampuanku.
Aku berlindung kepada-MU dari segala
kejahatan yang telah aku lakukan.
Aku mengakui nikmat-nikmat-MU kepadaku dan
aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tak ada yang bisa mengampuni
dosa-dosa, kecuali engkau” (HR. Bukhari)
Ade
Anita
kafemuslimah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar